Media Komunikasi Mahasiswa PGSD

Selasa, 20 Mei 2008

Mitos Pendidikan

MPintar itu selalu mendapat nilai bagus, rengking sepuluh besar, hapalannya bagus, cepat membaca, cepat bisa menulis. Tidak pernah bertingkah laku aneh, baik dalam kesehariannya. Inilah anggapan yang terjadi dalam masyarakat kita, anak pintar telah distandarisasikan.
Sehingga orang tua berlomba-lomba memberi les tambahan kepada anaknya agar sesuai
dengan standar yang diberikan oleh pandangan masyarakat pada umumnya. Dan tak jarang
memarahinya ketika nilainya jelek dan tidak rengking, bahkan sampai memukul dan
menghukumnya. Perlakuan ini sangat disayangkan, karena dimarahi, dihukuman,
dipukul bisa berakibat fatal pada perkembangan mental anak. Anak jadi minder, tidak percaya diri, merasa tidak punya kelebihan karena sering dibandingkan dengan yang lebih pintar. Tetapi
ada juga sebagian anak ketika dihukum karena nilainya jelek, bisa berprestasi, walaupun
kadang bukan karena keinginannya, tetapi keinginan orangtuanya agar bisa dibanggakan
kepada temannya.


Inilah carut marut pendidikan kita, masyarakat kita telah menstandarkan orang pintar dan orang bodoh. Semacam mitos, cerita yang dibangun berdasarkan kejadian dan pendapat pada
umumnya orang mengatakan. Hingga pada tahap cerita yang harus diikuti masyarakat. Pada
dasarnya anak dilahirkan tidak ditakdirkan menjadi bodoh, semuanya punya keunikan dan kelebihan, tinggal bagaimana orangtua mengasah dan merangsangnya. Di sinilah peran orangtua. Kalau orangtua mendidik dengan kasih sayang sejak di dalam rahim hingga dewasa, pastinya
akan menghasilkan generasi berkualitas.

Anggapan bahwa anak pintar itu harus nilai bagus, rengking, memberikan dampak yang buruk terhadap perkembangan anak. Sebenarnya semua anak dilahirkan tidak dikaruniai kebodohan. Semua mempunyai kecerdasan, hanya kecerdasan mana yang lebih cenderung dimiliki anak. Kurikulum yang dipakai saat ini porsi terbesar memperkerjakan kecerdasan logika, padahal menurut Howard Gardner, peneliti dan psikolog menemukan bahwa di dalam otak ada
area yang menunjukkan jenis-jenis kecerdasan tertentu. Gardner menemukan adanya
sembilan macam kecerdayan yaitu cerdas kata, cerdas alam, cerdas diri, cerdas bergaul,
cerdas musik, cerdas tubuh, cerdas gambar, cerdas logika, cerdas makna, yang diistilahkan
sebagai Multiple Intelligences (kecerdasan majemuk). Sebenarnya anak tidak bodoh, hanya
karena kurikulum yang mengharuskan untuk mengoktimalkan kecerdasan logika, padahal anak memiliki kecerdasan gerak, sehingga ketika harus menghafal dia tidak mampu semaksimal anak
yang memiliki kecerdasan logika, hingga pada akhirnya anak mendapat nilai kurang baik.

Seharusnya apabila semua pendidik, baik itu orangtua maupun guru di sekolah mengerti bahwa anak mempunyai kecenderungan kecerdasan maka tidak ada yang akan dikatakan bodoh. Sehingga sekolah bagi anak bukan menjadi beban untuk harus memiliki nilai bagus, sekolah menjadi kesenangan seperti saat mereka bermain. Hal ini tak lepas juga dengan sistem pendidikan pemerintah, yaitu kurikulum yang memang tidak baik untuk semua anak. Pelajaran yang dipatenkan dari pemerintah diperuntukkan hanya anak yang memiliki kecerdasan saja yang dioptimalkan. Sehingga banyak anak yang hanya jadi penggembira atau terpaksa mengikuti pelajaran.

Seandainya kurikulum pendidikan saat ini menganut teori Gardner yaitu kecerdasan majemuk, mungkin beberapa tahun kedepan akan menelurkan generasi yang luar biasa. Pendidikan bukan hanya sekedar memberikan mata pelajaran kepada anak didik, tetapi bagaimana anak didik itu
mampu menangkap dengan potensi kecerdasannya. Sehingga bukan kesia-siaan belaka. Anak didik mampu menangkap tanpa dibebani rasa bersalah karena kecenderungan kecerdasannya, untuk itu dibutuhkan tenaga pendidik kreatif yang mengerti tentang kecenderungan kecerdasan anak. Saat ini banyak tenaga pendidik yang hanya menjalankan kurikulum yang dibuat pemerintah, karena target-target yang harus dicapai dan telah dibakukan kurikulum,
sehingga tenaga pendidik susah untuk bisa menemukan kreatifitas di luar kurikulum.

Seperti yang diungakapkan Hernowo dalam bukunya Menjadi Guru, apabila seorang pengajar masa kini menggunakan teori Gardner, selain dia akan didorong untuk mengajar secara kreatif-
menggunakan sembilan cara-diapun akan memandang anak didiknya secara positif. Memandang anak didik secara positif merupakan modal untuk bisa mengerti, ternyata anak mempunyai
kecenderungan kecerdasan lain selain temannya pada umumnya.

Hernowo mencontohkan, apabila ada anak didik yang usil dan maunya bergerak terus, ada
kemungkinan si anak didik memiliki kecerdasan tubuh (body smart) yang tinggi. Artinya anak yang memiliki kecerdasan tubuh yang tinggi perlu diajak berpikir (memahami suatu mata
pelajaran) dengan menggunakan gerak. Nah kemampuan untuk menganalisa inilah
kadang kurang dimiliki tenaga pendidik. Anak yang usil pada umumnya langsung dicap nakal,
karena sering mengganggu teman lainnya. Anggapan ini yang membuat anak akan
semakin usil dan tidak ada satu mata pelajaran yang masuk ke otaknya. Pada akhirnya anak mendapat nilai jelek dan dikatakan bodoh.

Padahal kalau tenaga pendidik tahu bagaimana caranya agar anak didik memahami suatu mata
pelajaran seperti yang dicontohkan Hernowo maka tidak ada yang akan dikatakan bodoh.
Menurut Hernowo tidak ada anak yang tidak dapat mempelajari suatu mata pelajaran jika seseorang pengajar menggunakan teori Multiple Intelligences.

Mitos yang telah melekat sejak lama di dalam benak orangtua memberikan gambaran bahwa perlunya orangtua memahami kecerdasan anak lebih cenderung ke arah mana. Sehingga orangtua tidak akan mudah mengatakan bodoh kepada anaknya. Orangtua mengerti ternyata anaknya itu tidak bodoh, karena tidak rangking, tetapi anaknya memiliki kecenderungan
kecerdasan lain yang sebenarnya kalau diolah dengan teori akan bisa meningkatkan
keilmuannya dan menjadi anak pintar.

Anggapan bahwa anak pintar adalah anak yang nilainya bagus tidak sepenuhnya benar. Karena semua anak mempunyai kecenderungan kecerdasan masing-masing. Dan nilai bagus tidak selalu menentukan kesuksesan di masa mendatang. Bahkan ada anak yang dulu nilainya pas-pasan, bisa melebihi kesuksesan anak yang selalu nilainya bagus di kelas.

Kita tidak tahu akan menjadi apa anak kita di masa mendatang, tetapi kita tahu bahwa hasil apa
yang akan kita dapatkan ketika kita menanam, merawat, menyiram dengan kasih sayang dan
memberikan pupuk yang tepat, pastinya akan menghasilkan buah yang kita idamkan. [Fajar
Sasora : 2008]