Media Komunikasi Mahasiswa PGSD

Selasa, 28 Oktober 2008

70 Persen Kepala Sekolah Tak Kompeten

Koran Tempo, Jakarta:

Jakarta -- Departemen Pendidikan Nasional memperkirakan 70 persen dari 250 ribu kepala sekolah di Indonesia tidak kompeten. Berdasarkan ketentuan Departemen, setiap kepala sekolah harus memenuhi lima aspek kompetensi, yaitu kepribadian, sosial, manajerial, supervisi, dan kewirausahaan. Namun, hampir semua kepala sekolah lemah di bidang kompetensi manajerial dan supervisi. "Padahal dua kompetensi itu merupakan kekuatan kepala sekolah untuk mengelola sekolah dengan baik," kata Direktur Tenaga Kependidikan Surya Dharma kepada wartawan di Jakarta kemarin.

Kesimpulan ini merupakan temuan Direktorat Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional setelah melakukan uji kompetensi.

Direktorat Peningkatan Mutu melakukan uji kompetensi berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 13 Tahun 2007 tentang Kompetensi Kepala Sekolah. Lebih dari 400 kepala sekolah dari lima provinsi mengikuti tes tersebut. Untuk memastikan temuan itu, uji kompetensi kembali dilakukan pekan lalu terhadap 50 kepala sekolah sebuah yayasan pendidikan. "Hasilnya sama saja," kata Surya.

Banyaknya kepala sekolah yang kurang memenuhi standar kompetensi ini tak terlepas dari proses rekrutmen dan pengangkatan kepala sekolah yang berlaku saat ini. Di sejumlah negara, kata Surya, untuk menjadi kepala sekolah, seseorang harus menjalani training dengan minimal waktu yang ditentukan. Ia mencontohkan Malaysia, yang menetapkan 300 jam pelatihan untuk menjadi kepala sekolah, Singapura dengan standar 16 bulan pelatihan, dan Amerika, yang menetapkan lembaga pelatihan untuk mengeluarkan surat izin atau surat keterangan kompetensi.

Sejak diberlakukannya otonomi daerah, pengangkatan kepala sekolah menjadi kewenangan penuh bupati atau wali kota. "Kewenangan tersebut menjadikan bupati atau wali kota seenaknya saja menentukan kepala sekolah," ujarnya. Selain itu, proses pengangkatannya jarang disertai pelatihan. Ia berharap kepala daerah kembali menggunakan standar kompetensi dalam memilih dan mengangkat kepala sekolah.

Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Guru Independen Indonesia Yanti Sriyulianti menyatakan perekrutan kepala sekolah memang tidak profesional. Hal itu bisa dilihat dari banyaknya sekolah yang tidak berkualitas. Ia memberi contoh perekrutan kepala sekolah di Subang, Jawa Barat, yang cenderung tertutup. "Proses yang tertutup seperti itu bisa saja terjadi di tempat lain dan dapat diindikasikan sebagai salah satu bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme," kata Yanti kemarin. Menurut dia, perlu perubahan manajemen dan regulasi yang lebih transparan dan akuntabel untuk memperbaikinya. Reh Atemalem Susanti

Jawa Tengah Alokasikan 20 Persen Anggaran untuk Pendidikan

TEMPO Interaktif, Semarang:Mulai tahun ini Provinsi Jawa Tengah mengalokasikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk sektor pendidikan.

"Alokasi 20 persen dari APBD untuk pendidikan memang wajib hukumnya, karena ini merupakan amanat dari Undang-undang Dasar 1945," kata Ketua Komisi Pendidikan DPRD Jawa Tengah M. Iqbal Wibisono di Semarang, Selasa (12/2).

Iqbal mengatakan jumlah keseluruhan APBD Jawa Tengah tahun ini mencapai Rp 5 triliun, sehingga anggaran pendidikan di Jawa Tengah mencapai Rp 1 triliun.

Para pejabat di Jawa Tengah, baik kalangan DPRD maupun eksekutif, kata Iqbal, sudah sepaham terkait persoalan alokasi 20 persen APBD untuk pendidikan. Buktinya, kata dia, setiap tahun anggaran untuk pendidikan di Jawa Tengah terus mengalami kenaikan. Tahun lalu alokasi untuk sektor pendidikan baru mencapai 17,59 persen dari APBD atau setara dengan Rp 732 miliar.

Iqbal juga mengimbau agar pemerintah kabupaten/kota di Jawa Tengah mengalokasikan anggaran 20 persen untuk sektor pendidikan. Meski begitu, menurutnya, persoalan pendidikan tidak hanya berhenti pada besarnya anggaran. "Dana yang besar harus diimbangi dengan program yang jelas sesuai dengan grand design yang telah dicanangkan," katanya.

Rofiuddin